This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 29 April 2013

Buku Tamu

Silahkan, memberikan tanggapan, pertanyaan, masukan atas website ini !!

Semoga, tanggapan serta masukan dari antum yang bermanfaat dapat memberi tambahan serta wawasan kami untuk meningkatkan kedepannya lebih baik. karena sesama muslim itu saudara, semoga nesehat antum bisa bermanfaat.


Dipersilahkan untuk memberikan, masukukan, tanggapa, pertanyaan dan nesehatnya. . .!!

Kamis, 18 April 2013

Jalan Menuju Surga


Sahabat Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,







كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أبَى قَالُوا : يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ : مَنْ أطَاعَنِيْ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk al-Jannah (Surga) kecuali orang yang enggan. Para shahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan?’ Rasulullah menjawab, ‘Barang siapa yang menaatiku, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).” (HR. al-Bukhari)

Pembaca yang semoga dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala, sungguh indah ucapan al-Imam Muhammad at-Tamimi rahimahullah, “Sesungguhnya Allah telah menciptakan dan memberikan rezeki kepada kita, dan (kemudian) Dia tidak membiarkan kita begitu saja. Namun Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul (Muhammad). Barang siapa yang menaatinya, dia akan masuk al-Jannah, dan barang siapa yang bermaksiat kepadanya, dia akan masuk an-Nar (neraka).”
Walaupun ringkas, kalimat yang beliau tuangkan dalam kitabnya Tsalatsatul Ushul tersebut mengandung makna yang sangat luas dan mendalam. Allah menciptakan manusia dan jin di dunia ini tidaklah sia-sia. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan membiarkan mereka hidup tanpa aturan dan syari’at yang menuntun mereka. Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan mereka agar beribadah kepada-Nya. Sebagai Dzat Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia juga memberikan rezeki dan berbagai kenikmatan kepada mereka untuk memudahkan dalam merealisasikan ibadah tersebut.
Namun untuk mewujudkan ibadah sebagaimana yang dikehendaki Allah, kita tidak bisa menunaikannya dengan baik dan benar jika tidak ada yang menuntun dan membimbing kita sesuai dengan yang dikehendaki oleh-Nya. Oleh karena itu, dengan hikmah dan kasih sayang-Nya pula, Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai rasul terakhir dan penutup para nabi untuk menjelaskan tata cara ibadah yang dikehendaki oleh-Nya.
Sehingga seluruh amal ibadah yang tidak sesuai dengan ajaran beliau maka ibadah itu akan sia-sia. Inilah sesungguhnya hakekat ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu setiap ibadah kepada Allah harus dilakukan sesuai dengan ajaran dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka seseorang yang benar-benar merealisasikan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam inilah yang akan mendapatkan jaminan al-Jannah. Sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
Ketika seseorang telah mengikrarkan dua kalimat syahadat, tidaklah cukup hanya sebatas di lisan saja. Namun harus pula diwujudkan dalam bentuk amalan nyata. Yaitu dia harus mengikhlaskan segala bentuk ibadahnya hanya untuk Allah semata serta ibadah yang dia laksanakan harus ada contoh dan petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Seorang yang menginginkan untuk senantiasa taat kepada Allah, maka di antara wujud ketaatan kepada-Nya adalah taat kepada Rasulullah. Sedangkan ketaatan kepada Rasulullah merupakan bukti akan ketaatan dia kepada Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Barang siapa yang menaati Rasul itu (Nabi Muhammad), sesungguhnya ia telah menaati Allah.” (An-Nisa’: 80)
Sehingga barang siapa yang bermaksiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta tidak mau mendengar dan taat kepada beliau, maka berarti dia juga telah bermaksiat kepada Allah dan tidak mau taat serta tunduk kepada Penciptanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ
“Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah, dan barang siapa bermaksiat (tidak taat) kepadaku, sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bagaimana bisa seorang yang tidak taat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikatakan sebagai orang yang tidak taat kepada Allah? Ya, karena tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda atau menetapkan suatu syariat, melainkan hal itu merupakan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Allah lberfirman (artinya),
“Dan tidaklah dia berucap menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Maka dari itu, banyak sekali ayat tentang perintah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebutkan beriringan dengan perintah untuk menaati Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya jika kalian adalah orang-orang yang beriman.” (Al-Anfal: 1)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan kepada kaum mukminin jika mereka memang benar-benar telah mengikrarkan keimanan, maka mereka harus siap untuk tunduk dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena keimanan (yang jujur) itu akan mendorong seseorang untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana orang yang tidak menaati Allah dan Rasul-Nya bukanlah orang yang beriman (dengan keimanan yang benar). Barang siapa yang kurang ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hal ini menunjukkan kurangnya kadar keimanannya. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman)
Dari sini jelaslah bahwa di antara syarat sempurnanya keimanan seseorang adalah dengan mewujudkan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Buah Ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam
Orang yang senantiasa istiqamah di atas ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya akan meraih sekian banyak kebaikan. Satu kebaikan saling berkaitan dengan kebaikan yang lainnya. Di antara kebaikan-kebaikan tersebut adalah:
1. Mendapatkan limpahan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Dan taatilah Allah dan Rasul, pasti kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya merupakan salah satu sebab diraihnya rahmat (kasih sayang) Allah.”
Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala merupakan kunci utama bagi seseorang untuk merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
2. Mendapatkan hidayah
Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan hidayah kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya. Tentu, orang yang dirahmati oleh-Nya sajalah yang akan mendapatkan anugerah besar ini. Mereka itulah yang senantiasa menjaga ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam ayat-Nya (artinya),
“Dan jika kalian taat kepadanya (Nabi Muhammad), niscaya kalian mendapat hidayah (petunjuk).” (An-Nur: 54)
Yaitu hidayah (petunjuk) menuju ash-Shirath al-Mustaqim (jalan yang lurus), baik (petunjuk untuk) berkata maupun beramal. Tidak ada jalan bagi kalian untuk mendapatkan hidayah kecuali dengan menaati beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tanpa ketaatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak mungkin bahkan mustahil untuk mendapatkan hidayah. (Lihat Taisir al-Karimir Rahman).
3. Meraih kemenangan besar
Sebagaimana di dalam firman-Nya (artinya),
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 71)
Kemenangan yang besar ialah dengan dimasukkan ke dalam al-Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi. Allah subhanahu wa ta’ala sediakan al-Jannah bagi orang-orang yang menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam al-Jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.” (An-Nisa’: 13)
4. Dikumpulkan bersama para nabi, para shiddiqin, syuhada’, dan shalihin
Al-Jannah itu bertingkat-tingkat. Penduduknya akan menempati tingkatan al-Jannah sesuai dengan kadar keimanan dan ketakwaannya. Semakin tinggi dan sempurna keimanan serta ketakwaan seorang hamba, semakin tinggi pula tingkatan al-Jannah yang akan dia tempati.
Sudah pasti bahwa tingkatan al-Jannah yang paling tinggi ditempati oleh hamba-hamba-Nya yang paling mulia. Mereka itulah para Nabi, para shiddiqin (orang-orang yang sempurna pembenaran dan keimanan mereka terhadap syariat yang dibawa oleh Nabi n), para syuhada’, dan orang-orang shalih. Bersama merekalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan dikumpulkan di al-Jannah nanti. Hal ini sebagaimana firman-Nya (artinya),
“Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa’: 69)
Para pembaca rahimakumullah. Ayat ini juga mengingatkan kita akan do’a yang senantiasa kita panjatkan ketika membaca surah al-Fatihah (artinya),
“Tunjukilah kami ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus). (Yaitu) jalan orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (Al-Fatihah: 6-7)
Jalan yang lurus (ash-shirath al-mustaqim) adalah jalannya orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah. Siapakah mereka itu? Pembaca bisa lihat dalam surah an-Nisa’ di atas, yaitu jalannya para nabi, para shiddiqin, para syuhada’, dan orang-orang shalih.
Siang dan malam senantiasa kita panjatkan doa tersebut dalam shalat kita. Sehingga agar doa kita tersebut dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka hendaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk selalu menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh sisi kehidupan kita, baik dalam hal aqidah, ibadah, mu’amalah, maupun akhlak. Semoga Allah menjauhkan kita dari golongan yang dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku, maka dialah orang yang enggan (yakni enggan masuk al-Jannah, pen.).”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya),
“Dan barang siapa bermaksiat (mendurhakai) Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam an-Nar, sedang dia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa’: 14)
Wallahu a’lamu bish shawab..
Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullah

Tiga Nesehat Berharga

 “Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada. Iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, niscaya kebaikan tersebut akan menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang mulia.” (HR. at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Dihasankan pula oleh asy-Syaikh al-Albani)

Wahai saudaraku, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kita semua Pesan-pesan mulia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, awalnya ditujukan kepada sahabat Abu Dzar Jundub bin Junadah al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu. Walaupun demikian, sebenarnya juga diperuntukkan bagi seluruh umatnya. Beliau adalah seorang sahabat yang terkenal dengan kezuhudan dan keilmuannya. Keseriusan perjuangannya dalam menggapai hidayah adalah contoh dan teladan. Keteguhan beliau dalam memegang keyakinan dan kebenaran adalah figur panutan. Beliau termasuk orang-orang pertama (as-Sabiqunal Awwalun) yang masuk Islam.
Perjalanan jauh ia tempuh, tanpa peduli segala resiko yang bakal terjadi, tetap beliau hadapi. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menuturkan sendiri, “Aku adalah orang keempat dalam Islam. Ada tiga orang yang masuk Islam sebelumku. Ketika itu aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku mengatakan, “Assalamu ‘alaika, wahai Rasullullah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah. Aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah.” Aku pun melihat raut muka bahagia terpancar dari wajah suci Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah fitrah yang bersih. Senantiasa rindu terhadap kebenaran, ke manapun akan dia cari. Luasnya gurun pasir, teriknya sinar matahari, sedikitnya bekal, dan jauhnya perjalanan tidak menjadi penghalang untuk meraih kebahagiaan hakiki.
Wahai saudaraku di Jalan Allah…
Bila sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik umat ini perlu diberi wasiat dan nasihat, maka terlebih lagi kita yang hidup di zaman yang jauh dari masa kenabian, tentu lebih membutuhkan.
Tiga nasihat yang berharga ini adalah faktor utama bagi seseorang untuk meraih kebahagiaan di dunia yang fana ini dan di akhirat nanti yang kekal abadi. Karena nasihat tersebut mengandung perintah, sebagai wujud penunaian hak-hak Allah subhanahu wa ta’ala dan hak-hak hamba-Nya. Seseorang akan dianggap baik, bila baik dan benar hubungan dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan bagus pula muamalahnya terhadap sesama manusia.
Nasihat pertama dan paling utama adalah bertakwalah kepada Allah subhanahu wa ta’aladi manapun berada.
Takwa sebagaimana didefinisikan oleh al-Imam Umar bin Abdul Aziz v, yaitu meninggalkan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan dan melaksanakan apa yang Allahsubhanahu wa ta’ala wajibkan. Lebih jelas lagi dengan yang didefinisikan oleh al-Imam Thalq bin Habib v: “Takwa adalah sebuah amal ketaatan kepada Allah di atas cahaya (ilmu) dari–Nya karena mengharap pahala-Nya. Serta meninggalkan kemaksiatan kepada Allah karena takut adzab-Nya didasari atas cahaya (ilmu) dari-Nya.”
Wahai saudaraku, rahimakumullah, ketakwaan yang hakiki tidak bisa diperoleh tanpa didasari dengan ilmu. Dengan ilmu tersebut akan terbedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, perintah dan larangan. Bila takwa sudah menjadi pakaian dan perhiasan bagi kehidupan seseorang, niscaya dia akan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Bukanlah menghadapkan wajah ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan bantuan), orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janjinya -apabila ia berjanji- dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar keimanannya dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah: 177)
Wahai saudaraku, barakallahufikum, perhatikan baik-baik ayat Allah subhanahu wa ta’alayang mulia tersebut. Ternyata takwa bukanlah kata yang sepi dari arti dan bukan pula pengakuan kosong tanpa konsekuensi. Takwa adalah sebuah kata yang sangat luas dimensi cakupannya. Takwa adalah bentuk pengabdian secara vertikal kepada Allahsubhanahu wa ta’ala,  yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Bukan orang bertakwa yang hakiki bila di hadapan orang banyak terlihat taat, sementara di kala sepi sendiri dia bermaksiat. Juga bukan yang ketika berada di masjid, sujud, ruku, terlihat khusyu’, sementara tatkala di pasar, di kantor, di tempat kerja dan tempat-tampat lainya, melanggar batasan syari’at.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bertakwa dengan sebenar-benarnya adalah hendaknya Allah subhanahu wa ta’ala ditaati dan tidak dimaksiati, disyukuri (nikmatnya) dan bukan diingkari, selalu diingat dan jangan dilupakan (dalam situasi dan kondisi apapun, baik di saat senang dan lapang ataupun dalam kondisi sedih dan sempit, pen.).”
Wahai saudara-saudaraku seiman… Inilah sebagian rahasia mengapa krisis multidimensi (baik akidah, ibadah, muamalah, moral, akhlak, dll.) yang menimpa umat ini tiada henti seolah-olah tanpa tepi. Tindak kejahatan di tengah masyarakat semakin dahsyat, seolah tidak bisa diakhiri. Bahkan setiap hari semakin bertambah kualitas dan kuantitas kejelekannya. Semua ini tidak lain karena sikap takut dan takwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala telah menipis atau nyaris habis, melemah bahkan hampir punah.
Wahai saudaraku, semoga kita dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala,  sebenarnya janji kemuliaan dari Allah bagi orang-orang yang bertakwa sangat melimpah, baik di dunia terlebih di akhirat. Di dunia, hidupnya terbimbing, urusannya dipermudah, diberi rezeki dari arah yang tidak terduga nan penuh berkah. Adapun di akhirat kelak, pahalanya melimpah, meraih naungan ridha-Nya, di dalam al-Jannah (surga).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Jikalau sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.” (Al-A’raf: 96)
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar serta memberinya rezeki dari arah yang tidak disangkanya.” (Ath-Thalaq: 2-3)
“Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa di sisi Rabb mereka (disediakan) jannah yang penuh kenikmatan.” (Al-Qalam: 34)

Nasihat kedua adalah iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, niscaya kebaikan tersebut akan menghapusnya. Mayoritas ulama menjelaskan bahwa hal tersebut terbatas pada dosa-dosa kecil. Adapun dosa besar akan terhapus dengan taubat yang tulus.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang seseorang terjerumus dalam perbuatan dosa dan kesalahan. Hal ini disebabkan banyak faktor, di antaranya lingkungan yang jelek, dorongan hawa nafsu yang tidak baik, dan bujuk rayu syaithan. Wahai saudaraku, perlu diingat bahwa dosa yang kita perbuat akan berdampak negatif terhadap rezeki, kejiwaan dan seluruh keadaan, terlebih keimanan kita. Sungguh tiada musibah yang turun menimpa manusia kecuali karena sebab dosa. Musibah itu pun tidak akan dicabut kecuali dengan taubat dan istighfar.
Allah lebih menyayangi hamba-Nya daripada sayangnya hamba terhadap dirinya sendiri. Di antara bentuk kasih sayang-Nya bahwa dosa seorang hamba bisa dihapus dan dampak negatif dari dosa bisa dihapus dengan kebaikan seperti shalat, sedekah, dan lain-lain jika itu dosa kecil.  Sementara dosa besar akan terhapus dengan bertaubat dan istighfar.
Oleh karena itu, wahai kaum muslimin, jangan putus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada yang putus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir. Sebesar apapun kesalahan dan dosa yang dilakukan oleh seorang hamba, karena digoda syaithan, kemudian segera bertaubat kepada Allah, pasti dia akan mendapati-Nya Maha Pengampun lagi Penyayang. Bersegeralah untuk memperbaiki diri dengan melakukan amal kebaikan karena satu kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah menjadi sepuluh bahkan lebih.

Nasihat ketiga adalah berakhlaklah mulia dalam bergaul dengan sesama. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang memiliki budi pekerti yang paling baik. Segala akhlak mulia dan perangai terpuji ada pada diri beliau. Sehingga kita diperintah untuk meneladani beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dari semua sisi, Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman:”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.”(Al-Ahzab: 21)
Karena akhlak mulia termasuk poros peradapan dalam kehidupan manusia, Islam telah menjunjung tinggi kedudukan akhlak mulia dan sangat besar perhatiannya. Banyaknya ayat dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seputar akhlak mulia, adalah bukti nyata atas pentingnya hal ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR al-Bukhari)
Baiknya akhlak adalah bukti atas baiknya keimanan seseorang. Pemiliknya akan memanen janji al-Jannah dan dekat tempat duduknya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat kelak.
Sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu berhias diri dengan akhlak yang mulia. Misalnya dengan silaturahmi, memaafkan kesalahan sesama, rendah hati, tidak sombong, serta bertutur kata yang lembut.
Wajah ceria ketika berjumpa dengan saudara, diiringi dengan salam dan senyuman, akan memunculkan suasana sejuk nan penuh keakraban, bahkan akan menebarkan kasih sayang dan menuai saling cinta dari sesama.
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “(Di antara) bentuk akhlak mulia adalah wajah yang selalu berseri, memberikan kebaikan, dan mencegah diri dari menyakiti orang lain.”
Wahai saudaraku seiman, dengan mempraktikkan nasihat ini, kehidupan masyarakat, akan aman, serasi, harmonis, dan ketentraman akan terwujud.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Penulis: al-Ustadz Muslim Tamam hafizhahullahu ta’ala

Renungan Kehidupan

Wahai saudaraku, semoga hidayah Allah subhanahu wa ta’ala selalu mengiringi kita, tak bisa dimungkiri bahwa kehidupan dunia ini dikitari dengan keindahan dan kenikmatan. Semuanya dijadikan indah pada pandangan manusia. Itulah kesenangan hidup di dunia. Namun di sisi Allah-lah sesungguhnya tempat kembali yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
            “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada segala apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (al-Jannah).” (Ali Imran: 14)
Betapa pun menyenangkannya kehidupan dunia itu, sungguh ia adalah kehidupan yang fana. Semuanya bersifat sementara. Tiada makhluk yang hidup padanya melainkan akan meninggalkannya. Tiada pula harta yang ditimbun melainkan akan berpisah dengan pemiliknya. Keindahan dunia yang mempesona dan kenikmatannya yang menyenangkan itu pasti sirna di kala Allah subhanahu wa ta’ala menghendakinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
            “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah di antara kalian serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur, dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)
Sudah sepatutnya bagi setiap pribadi muslim untuk memahami hakikat kehidupan dunia, agar tidak salah jalan dalam menempuhnya. Terlebih ia bukan akhir dari perjalanan seorang hamba dalam menuju Rabb-nya. Masih ada dua fase kehidupan berikutnya; kehidupan di alam kubur (barzakh) dan kehidupan di alam akhirat.
Di alam kubur (barzakh), masing-masing akan menghuninya seorang diri tanpa ditemani oleh kawan atau orang yang dicinta. Sedangkan segudang harta yang telah lama ditimbunnya di dunia tak lagi setia di sampingnya. Dengan hanya mengenakan kain kafan yang melilit di tubuh, berbaring di liang lahat yang sempit dan tak beralaskan sesuatu pun, masing-masing akan mendapatkan azab kubur atau nikmat kubur sesuai dengan perhitungannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun di alam akhirat, masing-masing akan menghadap Allah subhanahu wa ta’ala seorang diri pula guna mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang dikerjakannya selama hidup di dunia, kemudian akan diberi balasan yang setimpal oleh Allah subhanahu wa ta’ala atas segala yang diperbuatnya itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
            “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (berbuat) dengan penuh kesungguhan menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya (untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan).” (al-Insyiqaq: 6)
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (unsur yang amat kecil) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejelekan seberat dzarrah (unsur yang amat kecil) pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya.” (az-Zalzalah: 7-8)

Mewaspadai Gaya Hidup Bebas
Wahai saudaraku, semoga kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala selalu bersama kita, tak bisa dipungkiri bahwa gaya hidup bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan berbagai aturan (termasuk syari’at) yang ada merupakan fenomena yang terjadi pada sebagian manusia. Padahal bila dirunut hakikat dan ihwalnya, tak sepantasnya bagi mereka memilih kehidupan yang bersifat bebas tersebut.
Betapa tidak, dengan segala hikmah dan keadilan-Nya Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia sebagai makhluk yang dilingkupi segala kelemahan dan keterbatasan. Mengawali kehidupannya dalam keadaan lemah, kemudian sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
            “Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Ar-Rum: 54)
Sungguh tanpa nikmat, karunia, pertolongan dan kekuatan dari Allah subhanahu wa ta’ala, tak mungkin manusia bisa menjalani pahit getirnya kehidupan ini dengan selamat. Karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan mereka dengan firman-Nya:
            “Hai sekalian manusia, kalianlah yang amat butuh kepada Allah, dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
Demikianlah manusia dengan segala kelemahan dan keterbatasannya. Semua pada hakikatnya dalam perjalanan menuju Rabb-nya. Sedangkan kemampuannya untuk beramal sangat terbatas pada umur yang Allah subhanahu wa ta’ala tentukan. Saat kematian tiba, tak seorang pun dapat menghindar atau menangguhkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
            “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (al-Munafiqun: 11)
Wahai saudaraku, semoga nikmat husnul khatimah mengiringi akhir kehidupan kita, ketahuilah bahwa gaya hidup bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan berbagai aturan termasuk syari’at agama merupakan perbuatan tercela yang dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Gaya hidup bebas sangat berbahaya bagi kehidupan umat manusia, terkhusus kaum muslimin. Dengannya, berbagai tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan akan hancur. Masing-masing akan berbuat sesuai dengan kehendak hawa nafsunya. Yang penting senang, yang penting puas…  Ada yang berbuat zina, minum minuman keras (miras), narkoba, berjudi dengan segala modelnya, pornoaksi, pornografi, dan berbagai kemaksiatan lainnya. Sementara pembunuhan, perampokan, penjambretan, pencurian, korupsi, penipuan, dan berbagai tindakan kriminalitas lainnya pun menjamur di mana-mana.
Demikian pula dalam kehidupan baragama, gaya hidup bebas dapat merusak akidah dan ibadah kaum muslimin. Di antara mereka ada yang berbuat kesyirikan dan ada pula yang melakukan berbagai amalan tanpa bimbingan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (al-Furqan: 43-44)
Bisa dibayangkan, betapa hancurnya sebuah masyarakat manakala kehidupannya disamakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan kehidupan binatang ternak bahkan lebih parah darinya. Oleh karena itu, dari sisi manakah alasan manusia untuk memilih gaya hidup bebas? Pantaskah perilaku buruk itu ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, Pencipta alam semesta ini?! Betapa naifnya manusia (siapapun dia) bila memilih gaya hidup bebas, dengan menuhankan hawa nafsu, melepaskan diri dari ikatan syari’at Islam yang mulia dan mencampakkan fitrah yang suci.

Indahnya Meniti Kehidupan di Atas Agama Islam
Betapa indahnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syari’atnya memerhatikan hubungan antara hamba dengan Allah subhanahu wa ta’ala sang Pencipta, memosisikan-Nya sebagai tumpuan dalam hidup ini, berserah diri kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya, memurnikan ibadah hanya untuk-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.
Demikian pula memerhatikan hubungan antara hamba dengan sesamanya, dengan cara menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, menyantuni yang lemah, membantu orang yang tertimpa musibah, menyambung tali silaturahmi, menjaga hubungan baik dengan tetangga, memuliakan tamu, jujur dalam berbuat dan berkata, dan lain sebagainya. Syari’at yang bersifat adil dan tepat, tidak berlebihan dan juga tidak bermudahan dalam segala aspeknya.
Atas dasar itu, setiap pribadi muslim berkewajiban untuk meniti kehidupan ini dengan agama Islam dan syari’atnya yang sempurna selama hayat masih dikandung badan. Mengedepankan syariat Islam atas segala dorongan hawa nafsu, adat istiadat/budaya negerinya dan selainnya. Senantiasa menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tak menentangnya sedikit pun. Dengan itu, akan terbimbing untuk masuk ke dalam al-Jannah (surga) dan diselamatkan dari azab yang pedih. Itulah jalan keselamatan yang hakiki. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: «مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
            “Semua umatku akan masuk ke dalam al-Jannah (surga) kecuali yang enggan. Para sahabat berkata: ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab: ‘Barang siapa yang menaatiku pasti masuk ke dalam al-Jannah (surga), dan barang siapa menentangku maka dialah orang yang enggan’.” (HR. al-Bukhari no. 7280 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Wahai saudaraku, semoga lindungan Allah subhanahu wa ta’ala selalu bersama kita, demikianlah sekelumit tentang renungan kehidupan dunia yang sedang kita jalani. Mudah-mudahan menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari kebenaran. Amiin..
            Wallahu a’lam bish shawab..
Penulis: Ustadz Ruwaifi’ Lc, hafizhahullah