This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 07 Maret 2013

Agama Islam itu Mudah & Indah


Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Dinul Islam adalah ajaran dan tuntunan yang diturunkan dari sisi Sang Pencipta, Pemelihara, Pemilik langit, bumi serta segala isinya, termasuk manusia tentunya. Sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat yang Maha Mengetahui batas kekuatan, kemampuan, serta potensi manusia. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala pun menetapkan syari’at yang sesuai dengan kemampuan mereka dan bukan kemauan hawa nafsu mereka. Dinul Islam tidaklah menghendaki kesukaran, namun justru datang dengan membawa kemudahan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah, dan tidak ada seorang pun yang mempersulitnya melainkan (agama itu) mengalahkan dia (mengembalikan dia kepada kemudahan).” (HR Al-Bukhari no. 39)
Islam bukan agama ritual penyiksaan diri, Islam memberi keringanan tatkala sakit atau tidak mendapatkan air dengan bertayammum sebagai pengganti wudhu. Islam menekankan untuk menyegerakan berbuka puasa bila telah tiba waktunya, bahkan melarang puasa terus-menerus setiap hari selain puasa Ramadhan. Islam juga menekankan pentingnya shalat malam, namun melarang melaksanakannya semalam suntuk. Islam mensyariatkan untuk menikah, melarang praktik membujang bagi pemeluknya.
Wahai saudaraku, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memuliakan kita. Sebagai contoh dalam urusan kematian, Islam menuntunkan demikian praktis dan mudah. Jika ada seorang muslim yang meninggal dunia maka jenazahnya cukup dimandikan, dikafani, dishalati, dimakamkan dan juga disunnahkan dimintakan ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Disunnahkan pula kita berta’ziyah  dengan mendoakan dan menghibur keluarga si mayit. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan para sahabat untuk membuat makanan untuk keluarga Ja’far radhiyallahu ‘anhu setelah meninggalnya Ja’far radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka.” (HR. At Tirmidzi)
Ibadah Bersifat Tauqifiyah
Wahai saudaraku di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kita. Ketahuilah, ibadah dalam islam adalah bersifat tauqifiyah, ketetapan yang sudah paten, kita tidak boleh kita menambah atau mengurangi dari apa yang telah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada celah bagi kita untuk membuat tata cara dan bentuk baru dalam ibadah. Baik buruknya ibadah bukan diukur dari banyak-sedikitnya amalan, namun parameternya adalah keikhlasan dan kesesuaian dengan contoh, tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga Islam itu tidak sulit dan tidak merpersulit, karena tinggal mengikuti contoh praktek Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Tiga orang sahabat Nabi datang ke rumah istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ingin menanyakan tentang ibadah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka memperoleh kabar tentang ibadah Nabi, seakan-akan mereka menganggap hal itu sedikit. Mereka menyatakan: “Di mana posisi kita dibandingkan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal Nabi telah diampuni dosa-dosanya baik yang telah lalu maupun yang akan datang.” Akhirnya salah seorang di antara mereka berkata: “Adapun saya, akan menegakkan shalat malam selamanya (tidak pernah tidur malam).” Yang kedua berkata: “Sedangkan saya akan berpuasa selamanya, tidak ingin berbuka walaupun sehari.” Adapun sahabat terakhir berkata: “Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selamanya.” Maka kemudian Rasulullah datang menemui mereka dan bertanya: “Apakah benar kalian yang menyatakan demikian dan demikian? Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dibanding kalian. Aku adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dibanding kalian. Akan tetapi aku berpuasa juga berbuka. Aku mengerjakan shalat malam dan aku juga tidur. Aku pun menikahi kaum wanita. Maka barangsiapa yang membeci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (HR. Al-Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1159)
Alasan kedatangan ketiga sahabat tersebut: “Karena amalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara lahiriah diketahui oleh kaum muslimin secara umum, seperti amalan beliau di masjid, di pasar, atau yang beliau lakukan ditengah masyarakat bersama para sahabat, mayoritas sahabat di Madinah mengetahuinya. Adapun amalan beliau yang bersifat sirr (tersembunyi), hanya keluarga beliau yang tahu dan sebagian para sahabat yang membantu beliau seperti Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya. Maka, datanglah ketiga sahabat tersebut ke rumah istri-istri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan ibadah beliau ketika berada di rumah.
Dikarenakan para sahabat memiliki iman dan semangat yang tinggi untuk beramal shalih, maka mereka menganggap sedikit amal ibadah yang telah mereka kerjakan. Sehingga masing-masing bertekad untuk memilih satu bentuk ibadah. Salah seorang di antara mereka bertekad untuk berpuasa setiap hari, yang kedua hendak mengerjakan shalat malam sepanjang malam, adapun yang ketiga akan menjauhi wanita tidak menikah. Namun ketika tata cara ibadah yang dilakukan ketiga sahabat tersebut melampaui batas dari yang telah dituntunkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur dan membimbing mereka.
Bahaya Berlebihan dalam Ibadah
Ibadah secara berlebihan tidak disukai. Mengapa? Ibnu Hajar menukil pernyataan Ibnu Baththal sebagaimana dalam Fathul Bari, “Hal tersebut dibenci karena dikhawatirkan munculnya sikap jenuh sehingga justru meninggalkan ibadah tersebut secara keseluruhan.”
وَعَنْ عَائِشَةَ d: أنَّ النَّبيَّ n دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ، قَالَ: مَنْ هذِهِ؟ قَالَتْ: هَذِهِ فُلاَنَةٌ تَذْكُرُ مِنْ صَلاتِهَا. قَالَ: مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ، فَوَاللهِ لاَ يَمَلُّ اللهُ حَتَّى تَمَلُّوا. وَكَانَ أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ صَاحِبُهُ عَلَيْهِ.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, suatu hari masuk menemui ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu. Pada waktu itu ada seorang wanita di sisinya. Rasulullah bertanya, “Siapa wanita itu?” Aisyah menjawab, “Fulanah, dia sedang menceritakan tentang (lamanya) shalat malamnya. Maka Rasulullah membimbing, “Cegahlah dia, hendaknya kalian beramal sesuai dengan kemampuan. Demi Allah, Allah tidak akan jemu sampai kalian sendiri yang merasa jemu.” ‘Aisyah juga mengabarkan bahwa ibadah yang paling beliau sukai adalah ibadah seseorang yang dilakukan secara berkelanjutan. (Muttafaqun ‘Alaihi)
Di dalam hadits di atas terdapat faedah bahwa sudah seharusnya bagi seorang hamba tidak memaksakan diri dalam menjalankan ketaatan dan banyak beramal di luar batas kepatutan. Karena hal itu akan menimbulkan kejenuhan yang justru berakibat fatal, yaitu meninggalkan ibadah tersebut semuanya. Keberadaan dirinya yang selalu menjaga amalan dan istiqamah, walaupun sedikit, tentu lebih utama. (Demikian penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ).
وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Dan tidak ada seorang pun yang mempersulitnya melainkan (agama itu) mengalahkan dia (mengembalikan dia kepada kemudahan).” (HR. Al Bukhari no. 39)
Makna hadits ini ialah adanya larangan bagi seseorang yang hendak memberatkan diri dalam amalan din (agama), karena dia tidak akan mampu meneruskan amalan melebihi batas yang disyariatkan. Dan pada akhirnya dia akan jemu dan mengalami kekalahan.
Wahai saudaraku yang semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala Merahmati kita semua. Marilah kita perhatikan baik-baik nasehat seorang sahabat mulia Salman Al-Farisi terhadap sahabat Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu (yang artinya):
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abud Darda’. Suatu hari Salman Al-Farisi datang berkunjung ke rumah Abud Darda’. Mendapati keluarganya kurang mendapatkan perhatian dari Abud Darda’, Salman Al –Farisi pun bertanya, “Ada masalah apa?” Istri Abud Darda` menjawab, “Saudaramu, Abud Darda’ tidak lagi membutuhkan dunia.” Kemudian datanglah Abud Darda’ membuat makanan untuk Salman dan berkata, “Makanlah, aku sedang berpuasa.” Salman berkata, “Saya tidak akan menikmati makanan ini kecuali engkau menemaniku makan. Maka Abud Darda’ ikut menyantap makanan tersebut.
Di saat malam hari tiba Abud Darda’ bangkit untuk mengerjakan shalat malam. Salman menasehati agar Abud Darda’ istirahat dan tidur. Beliau pun menurut dan segera tidur. Di pertengahan malam Abud Darda’ ingin menegakkan shalat malam. Salman masih memberi nasehat yang sama, agar beliau istirahat dan tidur. Setelah masuk waktu akhir malam, Salman pun membangunkan Abud Darda’, “Bangunlah sekarang!” Mereka berdua lalu menegakkan shalat malam. Sesudah itu Salman menyampaikan nasehat, “Sesungguhnya Rabb-mu memiliki hak darimu. Dirimu pun juga memiliki hak. Demikian pula keluargamu memiliki hak yang harus engkau tunaikan. Maka tunaikanlah haknya masing-masing.” Setelah kejadian itu, beliau menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk menceritakan kisahnya. Rasulullah bersabda, “Salman memang benar.” (HR. Al-Bukhari 8/40, 6139)
Simaklah hadits berikut:
دَخَلَ النَّبيُّ n المَسْجِدَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُوْدٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ، فَقَالَ: مَا هَذَا الحَبْلُ ؟ قَالُوْا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ، فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ بِهِ. فَقَالَ النَّبيُّ n: حُلُّوْهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ
“Suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid. Beliau mendapatkan seutas tali terikat di antara dua tiang masjid. Lantas Rasulullah bertanya, “Tali untuk apa ini?” Para sahabat menjawab, “Tali ini milik Zainab. Apabila dia merasa capek shalat, dia pun bergantung dengan tali tersebut.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Lepaskan tali ini! Hendaknya siapapun di antara kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat. Apabila dia merasa capek, hendaknya dia duduk.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa tidak dibenarkan seorang hamba terlalu berdalam-dalam serta berlebihan (keluar dari tuntunan syari’at) dalam beribadah. Ia memaksakan diri untuk melaksanakan sesuatu yang di luar batas kemampuannya. Seharusnya ia menegakkan shalat dalam keadaan semangat. Manakala ia merasa lelah hendaknya ia berhenti, tidur untuk istirahat. Karena orang yang shalat dalam keadaan lelah, konsentrasinya akan lemah, tidak bisa khusyu’, jenuh dan jemu. Mungkin saja ia akan menbenci ibadah tersebut. Bahkan bisa jad yang tadinya ingin mendoakan kebaikan untuk dirinya, ternyata malah mendoakan kejelekan bagi dirinya. (Lihat Syarah Riyadhush Shalihin)
Penutup
Wahai saudaraku di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Betapa luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi seluruh hamba-Nya, yang menjadikan syari’at ini begitu mudah. Jangan kita nodai keagungan rahmat-Nya dengan sikap berlebih-lebihan dalam menjalankan syari’at-Nya. Menjalankan amal ibadah akan mudah bila dalam bingkai bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas pemahaman Salaful-Ummah. Semoga Allah memberi kita taufik, hidayah dan istiqamah serta menggolongkan kita menjadi Ahlul Jannah.Amin.
Wallahu a’lamu bish shawab.

Sumber : http://www.buletin-alilmu.com/2011/07/24/agama-islam-itu-mudah-indah/

Mengenal Rasulullah

Mengenal Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Para pembaca semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati kita semua, ketahuilah bahwa cinta kepada Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kewajiban bagi setiap pribadi muslim. Seseorang bisa dipertanyakan akan keislamannya, ketika tidak memiliki kecintaan kepada beliaushallallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (Al-Ahzab: 6)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak beriman salah seorang dari kalian hingga menjadikan aku orang yang paling dicintainya, melebihi kecintaannya kepada orang tuanya, anaknya dan manusia seluruhnya.” HR al-Bukhari no. 15 & Muslim no. 44
Kecintaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu tidak akan terwujud kecuali dengan mengenal beliau secara lebih mendalam. Sehingga wajib bagi kita untuk mengenali beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan perjalanan hidup beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Mengenal Pribadi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Beliau adalah Abul Qasim Muhammad bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib (nama aslinya Syaibah) bin Hasyim (nama aslinya ‘Amr) bin ‘Abdu Manaf (nama aslinya al-Mughirah) bin Qushay (nama aslinya Zaid) bin Kilab (nama aslinya Hakim/’Urwah)  bin Murrah bin Ka’ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr (dialah yang dijuluki dengan Quraisy) bin Malik bin an Nadhr (nama aslinya Qais, jumhur ahli nasab mengatakan dialah Quraisy) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah (nama aslinya ‘Amir) bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin ’Adnan. (As-Siyar 26/29-32, al-Bidayah 2/657, Zadul Ma’ad hal.70, ar-Rahiqul Makhtum hal.48, Jawami’ as-Sirah hal.2)
‘Adnan termasuk anak cucu Nabi ‘Ismail bin ‘Ibrahim ‘alaihimas salaam menurut kesepakatan ulama (Fathul Bari 7/213, al-Bidayah 2/590, Zadul Ma’ad 1/70-71, as-Siyar 26/29, Mukhtashar Sirah hal.36)
Sedangkan ibu beliau adalah Aminah bintu Wahb bin ‘Abdu manaf bin Zuhrah bin Kilab (ar-Rahiqul Makhtum hal.52, Raudhatul Anwar).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lahir di pemukiman bani Hasyim di kota Mekah, di pagi Hari Senin tanggal  12 Rabi’ul Awwal di tahun gajah, atau bertepatan dengan tanggal 22 April 571 M. Selama 53 tahun beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tinggal di sana, 40 tahun sebelum kenabian & 13 tahun setelah kenabian, lalu hijrah ke Madinah menetap dan melanjutkan dakwah tauhid selama 10 tahun, hingga wafat pada waktu dhuha Hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 Hijriyah dalam usia 63 tahun atau 63 tahun 4 hari. (Al-Bidayah 2/662-664, 3/7 & 5/248-256, as-Siyar 26/33-37 & 27/471-476, ar-Rahiqul Makhtum  hal. 54-55 & 468-469, Zadul Ma’ad hal.74-75,469,  Raudhatul Anwar, Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah hal.99.)
Pribadi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dikenal dengan kejujuran, amanah, menjaga kehormatan dan dengan berbagai budi pekerti luhur lainnya, sejak sebelum beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi dan rasul. Hingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendapat julukan al-Amin yang artinya bisa dipercaya. Adapun setelah Islam kemuliaan sifat atau pribadi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamsemakin tinggi sebagaimana yang dikabarkan oleh Aisyah. Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir, dia berkata, “Aku mendatangi Aisyah maka aku berkata, ”Wahai ummul mukminin kabarkanlah kepadaku tentang akhlak Rasulullah,” maka beliau berkata, ”Adalah akhlak beliau Al-Qur`an, tidakkah kau membaca Al-Qur`an?” (HR. Ahmad)

Rumah Tangga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memiliki 11 orang istri.Mereka inilah yang dijuluki Ummahatul Mukminin (ibu orang-orang yang beriman).Mereka adalah:
1. Khadijah bintu Khuwailid, dari beliau lah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memiliki keturunan (kecuali Ibrahim).
2. Aisyah bintu Abu Bakr, shiddiqah bintu shiddiq.
3. Saudah bintu Zam’ah al-Amiriyyah.
4. Hafshah bintu ‘Umar bin al-Khaththab.
5. Zainab bintu Khuzaimah al-Hilaliyyah Ummul Masakin.
6. Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah al-Makhzumiyyah.
7. Zainab bintu Jahsyin al-Asadiyyah.
8. Juwairiyyah bintu al-Harits al-Khuza’iyyah.
9.Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan.
10.Shafiyyah bintu Huyay bin Akhthab.
11.Maimunah bintu al-Harits  al-Hilaliyyah.
Khadijah bintu Khuwailid dan Zainab bintu Khuzaimah keduanya meninggal semasa hidup Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang lainnya wafat sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Bidayah 5/305-313, Zadul Ma’ad hal.102-110, ar-Rahiqul Makhtum hal.473-474).

Putra-putri Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Ibnu Katsir menegaskan, “Tidak ada khilaf bahwa seluruh putra-putri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berasal dari Khadijah bintu Khuwailid, kecuali Ibrahim dari Mariyah bintu Syam’un al-Qibthiyyah” (Al-Bidayah 5/319).
Mereka adalah:
1. Al-Qasim (putra pertama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan dengannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-kun-yah (Abul Qasim). Dia wafat dalam usia 2 tahun.
2. Zainab, putri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terbesar.
3. Ruqayyah, dinikahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam  dengan shahabat Utsman bin Affan.
4. Ummu Kultsum, dinikahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan shahabat Utsman bin Affan setelah wafatnya Ruqayyah (sehingga Utsman dijuluki Dzun Nurain, pemilik dua cahaya).
5. Fathimah, putri beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang terkecil dan paling beliau cintai. Dia adalah pemimpin wanita penghuni surga (jannah), istri shahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib, ibunda dua pemimpin pemuda penghuni surga (jannah) al-Hasan dan al-Husain.
6. Abdullah, putra terakhir Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dari Khadijah, meninggal ketika kecil.
7. Ibrahim, lahir di Madinah dari budak beliau Mariyah bintu Syam’un al-Qibthiyyah, meninggal ketika kecil.

Keutamaan-keutamaan Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
1. Sayyidun Naas (Pemimpin manusia) dan Sayyidul Mursalin (Pemimpin para Rasul), beliau n bersabda, “Saya pemimpin manusia pada hari kiamat.” HR. al-Bukhari no. 4712 & Muslim no. 194
2. Khataman Nabiyyin (Penutup para Nabi), Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi, dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Ahzab:40)
3. Pemberi syafaat pada hari kiamat dengan izin Allah subhaanahu wa ta’aalaa.
4. Manusia pertama yang mengetuk pintu  surga (jannah) sebagaimana dalam Shahih Muslim dari Anas bin Malik dan umatnya adalah umat yang pertama masuk ke surga (jannah), sebagaimana disebutkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah.
Masih banyak lagi keutamaan-keutamaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad karya asy-Syaikh al-Utsaimin hal.79-81, Syarhu al-Aqidah al-Wasithiyyah karya asy-Syaikh Shalih al Fauzan hal.106-109, juga dalam as-Siyar karya al-Imam adz-Dzahabi 27/448-452.

Mengenali Risalah Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi nabi dalam usia 40 tahun dengan turunnya surat Al-Alaq: 1-5.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan diangkat menjadi rasul dengan turunnya surat Al-Muddatstsir: 1-7 dengan suatu misi memperingatkan manusia dari syirik dan menyeru kepada tauhid. (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah 122-123)
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam  adalah penutup para nabi yang diutus oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa untuk seluruh manusia bahkan jin, berdakwah selama 23 tahun yang inti risalah beliau dan juga risalah para rasul ’alaihimus salaam  adalah tauhid. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu” An-Nahl: 36
Awal dakwah beliau adalah tauhid (sebagaimana kisah beliau di bukit Shafa) dan akhir dakwah beliau juga tauhid, bahkan wasiat terakhir beliau menjelang wafat adalah tentang tauhid. Dari Aisyah dan Ibnu ‘Abbas, Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda di akhir hayat beliau, “Laknat Allah atas yahudi dan nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka masjid (tempat beribadah-pen).” HR. al-Bukhari 1/118-119, Muslim 2/67. Untuk lebih rincinya silakan lihat Fiqhus Shirah hal 77-78, ar-Rahiqul Makhtum hal.78-79 & hal.468-469, as-Siyar 27/463-464.
Risalah Islam yang dibawa oleh Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah sempurna, tidak butuh penambahan ataupun pengurangan, beliau telah menunaikan amanah, telah menyampaikan risalah, telah menasehati umat, tidaklah ada sebuah kebaikan dan keburukan melainkan beliau telah memberi penjelasan dan memperingatkan umat darinya. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Al-Ma`idah: 3

Menunaikan Hak-hak Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Di antara hak-hak beliau ialah kita menaati setiap perintah-perintahnya, membenarkan dan meyakini berita-berita yang beliau kabarkan (dari peristiwa-peristiwa dahulu, pada saat ini atau dari peristiwa-peristiwa yang akan datang), menjauhi segala yang telah dilarang oleh beliau, dan tidaklah beribadah kepada Allahsubhaanahu wa ta’aalaa kecuali dengan cara yang telah dituntunkan oleh beliau. (Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah hal.75)
Begitu pula memuliakan Ahlul Bait beliau dan termasuk di dalamnya istri-istri beliau, mereka adalah istri nabi di dunia dan di akhirat, Ummahatul Mukminin (ibunya orang-orang yang beriman), maka mencela dan melaknat mereka adalah kekufuran. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, ”Dan istri-istrinya (Rasul) adalah ibu-ibu mereka (orang-orang beriman).”  (Al-Ahzab: 6)
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah memuliakan para shahabat beliau, tidak mencela mereka, ridha kepada mereka semua. Melalui mereka lah agama ini sampai kepada kita, mereka menjadi saksi ketika turunnya wahyu, murid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara langsung. Berkeyakinan, berpemahaman, beribadah, beramal, dan bermuamalah di bawah kontrol kekasih mereka, Muhammadshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka mencela mereka, tidak ridha kepada mereka, mendustakan mereka adalah kefasikan dan kekufuran. Bahkan termasuk mendustakan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya yang memuji dan merekomendasi mereka. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, ”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Janganlah kalian mencela shahabatku, demi dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya jika seandainya ada di antara kalian yang berinfak emas sebesar gunung uhud maka tidak akan mampu menyamai (infak mereka) meski satu mud (cakupan tangan-pen) atau setengahnya” HR al Bukhari no.3673 & Muslim no.2540. Untuk lebih rincinya lihat Syarh Lumatul I’tiqad hal. 89-91 dan Fathu Rabbil Bariyyah hal.7.
Demikianlah saudara pembaca semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati kita semua, dari penjelasan di atas dapatlah kita ambil pelajaran, bahwa pribadi beliau adalah pribadi yang agung, mulia, terbaik dari segala sisinya. Mudah-mudahan dengan itu Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberikan kemudahan bagi kita semua untuk semakin mencintai beliau dan memenuhi hak-hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamAmin.
Wallahu a’lamu bish shawab.
Penulis: Ustadz Abu Umar Muhammad
Sumber : http://www.buletin-alilmu.com/2011/09/30/mengenal-rasul-shallallaahu-%E2%80%98alaihi-wa-sallam/

Kedudukan As-Sunnah Terhadap Al-Quran


Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an

Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sering kita mendengar kata “As-Sunnah” (اَلسُّنَّةُ) diucapkan baik dalam ceramah-ceramah agama atau disebut dalam tulisan-tulisan di majalah atau buletin bernuansa Islam. Sering pula kita dapati kata As-Sunnah digandengkan dengan kata Al-Qur`an. Namun sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap kita sebagai seorang muslim, “Apakah kita telah memahami kata As-Sunnah dengan pemahaman yang benar?” Pemahaman yang dapat membantu kita untuk menerapkan makna As-Sunnah sesuai dengan yang diinginkan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu hal itu akan terjawab dengan kita berusaha mengkaji ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka, pada tema kali ini kita mencoba membahas kata As-Sunnah dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Definisi As-Sunnah
Kata As-sunnah (اَلسُّنَّةٌ) adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata kerja (fi’il) سَنَّ – يَسُنُّ yang secara bahasa bermakna jalan atau cara, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah syar’i yaitu jalan atau cara yang telah ditempuh oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mencakup yang wajib maupun yang mustahab. Mencakup pula urusan akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Al-Imam Ibnu ‘Allanrahimahullaahu berkata dalam kitab beliau Dalilul Falihin (2/418), ketika menjelaskan sabda Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam (فعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ) hadits al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu ‘anhu, “Yakni caraku (cara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) dan jalan hidupku yang lurus yang aku berada di atasnya dari segala apa yang telah aku rinci kepada kalian. Baik hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah maupun amaliah yang wajib, mustahab dan selainnya.” (Lihat Dharuratul Ihtimam bis Sunan an-Nabawiyah hal. 20)
Dengan demikian, kata As-Sunnah jika disebutkan secara mutlak dengan konteks pujian maka yang dimaksud adalah makna secara syar’i yang umum mencakup hukum-hukum yang terkait dengan akidah dan amaliah baik yang wajib, mustahab, maupun mubah. Demikian pula jika disebutkan dalam sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum atau tabi’in. (Lihat Dharuratul Ihtimam hal. 20). Dan bukanlah makna As-Sunnah dengan konteks di atas bermakna lawan dari wajib (apabila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa) sebagaimana pengertian As-Sunnah menurut ahli fiqih.
Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu dalam Fathul Bari (10/341), “Telah tetap bahwa lafazh As-Sunnah yang ada di dalam hadits bukan bermakna lawan dari wajib.” Beliau juga berkata ketika menjelaskan hadits:
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فلَيْسَ مِنِّيْ
“Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (Muttafaq ‘alaihi)
“Yang dimaksud dengan lafazh Sunnah di sini adalah jalan atau cara, bukan lawan dari wajib.” (Lihat Fathul Bari 9/105).
Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin memahami ini dengan benar, karena di sana ada sebagian orang yang memaknakan kata As-Sunnah secara mutlak, yaitu lawan dari wajib. Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggal tidak berdosa. Sehingga mereka bermudah-mudahan meninggalkan As-Sunnah yang mustahab dan bahkan yang wajib. Allahul musta’an.

Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an
Setelah kita mengetahui definisi As-Sunnah yang benar, maka perlu kita ketahui bagaimana kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an.
Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menjelaskan dalam banyak ayat-Nya yang mulia, demikian pula Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan tentang kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an. Di antaranya:
  1. As-Sunnah sebagai penjelas dan perinci Al-Qur`an
Hal ini sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya):
“Dan telah kami turunkan adz-Dzikr (Al-Qur`an) kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang kami turunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Di dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa menjelaskan bahwa As-Sunnah adalah penjelas dan pemerinci Al-Qur`an. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَ مِثلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan bersama itu yang semisalnya (As-Sunnah).” (HR. Abu Dawud dan yang selain beliau dari sahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallaahu ‘anhu, dishahihkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan asy-Syaikh al-Albani rahimahumullaahu)
Al-Imam Ahmad rahimahullaahu berkata, “As-Sunnah adalah tafsir (penjelas, ed.) Al-Qur`an.” (Ushulus Sunnah lil Imam Ahmad hal. 16)
2. As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana Al-Qur`an
Hanya saja Al-Qur`an adalah mukjizat dan membacanya telah termasuk ibadah, berbeda dengan As-Sunnah. Akan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Allahsubhaanahu wa ta’aalaa berfirman (yang artinya):
“Dan tidaklah dia (Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) berkata dari hawa nafsunya semata, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)
Seorang muslim tidak mungkin mencukupkan dirinya dengan Al-Qur`an saja, bahkan ia tidak bisa beramal dan beribadah dengan benar tanpa As-Sunnah. Karena As-Sunnah adalah penjelas atau pemerinci Al-Qur`an. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerjakan shalat lima waktu dengan benar kalau ia tidak merujuk kepada As-Sunnah?! Karena hanya dalam As-Sunnah terdapat penjelasan dan rincian tentang tatacara shalat-shalat tersebut, baik dengan ucapan maupun amaliah atau praktik dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini kita memahami betapa mendesaknya kebutuhan kita kepada As-Sunnah, sampai-sampai al-Imam Makhul asy-Syami rahimahullaahu berkata, “Al-Qur`an lebih butuh kepada As-Sunnah daripada butuhnya As-Sunnah kepada Al-Qur`an.” (Al-Ibanah 1/253)
Ucapan beliau ini tidaklah bermakna bahwa As-Sunnah lebih tinggi kedudukannya daripada Al-Qur`an atau lebih mulia dari Al-Qur`an, akan tetapi makna ucapan beliau adalah, “Seorang muslim sangatlah butuh kepada As-Sunnah dalam mengamalkan Al-Qur`an.” Hal ini benar, karena mayoritas ahkam (hukum-hukum) dalam Al-Qur`an bersifat global sehingga sangat butuh penjabaran dan rincian dari As-Sunnah.
Selain As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang kedudukannya sama dengan Al-Qur`an (datangnya dari Allah subhaanahu wa ta’aalaa) juga termasuk dari dua hal yang diwariskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits:
تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ، لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kalian berpegang dengan keduanya pasti tidak akan tersesat, yaitu kitabullah (Al-Qur`an) dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dan al-Hakim)
Maka wajib bagi seorang muslim yang benar imannya dan mendambakan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat hendaklah menjadikan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Serta senantiasa berpijak kepada keduanya dalam beramal.

Bahaya Menyelisihi As-Sunnah
Sungguh Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah memberikan peringatan atau ancaman keras bagi mereka yang meninggalkan As-Sunnah dengan sengaja. Di antaranya ialah firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa(yang artinya):
“Maka berhati-hatilah orang yang menyelisihi perintah Rasul (sunnahnya) untuk ditimpa fitnah atau adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)
“Wahai orang-orang yang beriman ja-nganlah kalian mengangkat suara kalian dari suara Nabi, dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian lainnya, supaya tidak terhapus amalan kalian sementara kalian tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu berkata ketika menjelaskan ayat di atas, “Dalam ayat ini Allahsubhaanahu wa ta’aalaa memperingatkan kaum muslimin dari terhapusnya amalan-amalan mereka disebabkan mengeraskan suara kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sebagian mereka mengeraskan suara kepada sebagian yang lain.” (Al-Wabilush Shoyyib 1/11, Ta’zhimus Sunnah hal. 22)
Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, kalaulah hanya sekedar mengeraskan suara kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka akan terhapus amalannya, maka bagaimana dengan meremehkan As-Sunnah beliau atau menentangnya? Tentu amatlah keras siksanya. Dan, perlu diingat bahwa orang yang meremehkan As-Sunnah serta meninggalkannya dengan sengaja karena sombong akan disegerakan adzabnya oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa di dunia sebelum di akhirat. Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullaahu dari sahabat Salamah bin al-Akwa` radhiyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang makan di dekat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya, maka Rasulullah menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu,” namun ia menjawab (dengan kesombongan), “Aku tidak bisa.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kamu tidak akan bisa selamanya,” maka pada saat itu juga lelaki itu tidak bisa mengangkat kedua tangannya ke mulutnya. Hadits ini dan ayat sebelumnya, teguran keras bagi siapa saja yang meninggalkan As-Sunnah. Dan, seharusnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam mengamalkan As-Sunnah. Abu Bakar ash-Shiddiqradhiyallaahu ‘anhu berkata (yang artinya):
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang diamalkan Rasulullah kecuali aku mengamalkannya, dan sungguh aku sangat khawatir (takut) jika aku meninggalkan sesuatu dari sunnahnya akan tersesat.” (Lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 24)
Wallaahu a’lam.
Penulis: Al-Ustadz Abu Habib hafizhahullaahu
Sumber : http://www.buletin-alilmu.com/2011/11/30/kedudukan-as-sunnah-terhadap-al-quran/

Beriman Pada Kitab-Kitab Allah


Di antara bentuk rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya adalah Dia mengutus para rasul untuk membimbing manusia kepada jalan yang lurus dan menurunkan kitab-kitab-Nya yang di dalamnya berisi cahaya dan hidayah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ
“Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi berita gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 213)
Di antara ciri orang beriman sekaligus syarat kesempurnaan imannya adalah beriman kepada kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):
“Katakanlah (wahai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan kitab yang diturunkan kepada kami, dan kitab yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan kitab yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kitab yang diberikan kepada nabi-nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Al-Baqarah: 136)
Ayat di atas menunjukkan kewajiban beriman kepada para nabi dan rasul, dan beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.
Beriman kepada kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala merupakan salah satu rukun iman. Yakni meyakini dengan keyakinan yang kuat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki kitab-kitab yang Dia turunkan kepada para rasul yang dikehendaki-Nya, Dia turunkan dengan kebenaran yang nyata dan petunjuk yang terang. Kitab-kitab tersebut adalah Kalamullah (Firman/ Perkataan Allah) bukan makhluk. Maka wajib beriman secara global kepada semua kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala, dan wajib beriman secara rinci kepada kitab-kitab yang disebutkan namanya secara rinci.
Beriman kepada Kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala mencakup beberapa hal berikut:
1. Mengimani bahwa kitab-kitab tersebut benar-benar turun dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Beriman terhadap kitab yang kita ketahui nama-namanya. kita mengimaninya sesuai dengan namanya, seperti beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan kitab Al-Qur`an. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Al-Baqarah: 185)
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Taurat kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (terdapat) petunjuk dan cahaya (yang menerangi).” (Al-Ma`idah: 44)
Allah subhanahu wa ta’ala juga menurunkan Injil kepada Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam:
“Dan Kami iringkan jejak mereka (para nabi Bani Israil) dengan Isa putra Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Taurat, dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang di dalamnya (terdapat) petunjuk dan cahaya (yang menerangi).” (Al-Ma`idah: 46)
Demikian juga Zabur, Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Nabi Dawud ‘alaihis salaam:
“Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.” (Al-Isra`: 55)
Allah subhanahu wa ta’ala juga memberitakan tentang Shuhuf Ibrahim dan Shuhuf Musa dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam Kitab-Kitab yang dahulu, (yaitu) Shuhuf Ibrahim dan Musa.”(Al-A’la: 18-19)
3. Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut. Seperti berita-berita dalam Al-Qur`an, dan berita-berita dalam kitab-kitab sebelumnya yang belum mengalami perubahan atau penyimpangan.
4. Mengamalkan hukum-hukum dalam kitab-kitab tersebut selama tidak dihapus (mansukh), dengan penuh ridha dan penerimaan, baik kita memahami hikmah di balik hukum-hukum tersebut ataukah tidak. Adapun kitab-kitab terdahulu maka semuanya telah dihapus dengan kitab Al-Qur`anul Karim. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai muhaimin terhadap Kitab-Kitab yang lain itu.” (Al-Ma`idah: 48)
Muhaimin yakni sebagai hakim terhadap kitab-kitab terdahulu. Atas dasar itu tidak boleh mengamalkan hukum apapun yang terdapat dalam kitab-kitab terdahulu kecuali jika dibenarkan dalam Al-Qur`an.

Al-Qur`anul Karim kitab paling mulia
Al-Qur`anul Karim adalah kitab termulia, diturunkan kepada Nabi paling utama, dengan membawa syari’at paling mulia. Al-Qur`an merupakan kitab terakhir, membenarkan kitab-kitab terdahulu sekaligus menyempurnakan syari’at-syari’at sebelumnya. Kitab inilah yang umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya diwajibkan untuk mengikuti syari’at-syari’atnya dan berhukum dengannya, bersama dengan As-Sunnah yang juga merupakan wahyu yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan kepada Nabi-Nya di samping Al-Qur`an.
“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu.” (An-Nisa`: 113)
Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur`an kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallamagar dijadikan pedoman hukum, sekaligus sebagai obat penyakit yang ada di dada, penjelasan segala sesuatu, hidayah, dan rahmat bagi kaum mukminin. Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan Al-Qur`an agar manusia membacanya dengan penuh tadabbur (memperhatikan), mengikutinya, dan mengamalkan kandungannya. Sebagaimana firman-Nya l:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka mentadabburi ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”(Shad: 29)
“Dan Al-Qur`an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang penuh berkah, maka ikutilah dia dan bertaqwalah agar kalian diberi rahmat.” (Al-An’am: 155)
Maka barang siapa membaca Kitabullah dengan penuh tadabbur, mengikutinya, dan mengamalkan kandungannya berarti benar-benar telah beriman dengan kitab tersebut. Sebagaimana pujian Allahsubhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan penuh tadabbur (sehingga mengikutinya dengan sebenarnya), mereka itu orang-orang yang beriman kepadanya, dan barang siapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Baqarah: 121)
Mereka adalah orang-orang yang menghalalkan apa yang dinyatakan halal dalam Kitabullah, mengharamkan apa yang dinyatakan haram dalam Kitabullah, mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas), mengimani ayat-ayat yang mutasyabih (yang butuh penjelasan), mereka adalah orang-orang yang berbahagia, yang mengerti nikmat Allah subhanahu wa ta’ala yang sangat besar ini dan bisa mensyukurinya.
Kitab Taurat dan Injil yang ada di tangan orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen tidak diragukan lagi adalah kitab-kitab yang tidak sah penisbatannya kepada Nabi Musa dan kepada Nabi ‘Isa w. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa kitab Taurat yang ada di tangan Yahudi adalah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salaam, tidak pula bisa dikatakan bahwa kitab Injil yang ada di tangan Kristen adalah Injil yang diturunkan kepada Nabi ‘Isa q. Sehingga kedua kitab tersebut yang ada di tangan Yahudi dan Kristen bukanlah Taurat dan Injil yang kita diperintah untuk mengimaninya secara rinci.
Hal itu disebabkan telah terjadi penyelewengan, pemalsuan, dan perubahan yang dilakukan oleh tangan-tangan lancang orang-orang Yahudi dan Kristen terhadap kitabnya masing-masing. Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala terangkan dalam Al-Qur`an, di antaranya pada surah Al-Baqarah: 75, al-Ma`idah: 13-15, dan lainnya. Di samping penegasan Al-Qur`an, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Taurat dan Injil yang ada tidak sah dinisbahkan sebagai kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala, antara lain:
1. Taurat dan Injil yang sekarang ada di tangan Yahudi dan Kristen bukan naskah aslinya, namun terjemahannya.
2. Dalam naskah Taurat dan Injil yang ada tersebut telah tercampur antara Firman Allah subhanahu wa ta’ala dengan perkataan manusia.
3. Baik Taurat maupun Injil yang ada tersebut dibukukan setelah wafatnya Nabi Musa dan Nabi ‘Isa w dengan terpaut waktu yang sangat lama. Sementara tidak ada rantai periwayatan terpercaya antara zaman penulisan hingga Nabi Musa maupun Nabi ‘Isa. Semakin menguatkan hal ini, Injil muncul dalam beberapa naskah, ada Injil Matius, Injil Yohanes, dll.
4. Terdapat pertentangan antara naskah-naskah Taurat dan Injil yang ada.
5. Dalam Taurat dan Injil yang ada di tangan Yahudi dan Kristen tersebut ternyata berisi aqidah-aqidah yang batil dan sesat, berita-berita dusta, dan hikayat-hikayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Maka kewajiban kaum mukminin meyakini, bahwa Taurat dan Injil yang ada di tangan Yahudi dan Kristen tersebut bukanlah kitab yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, namun itu adalah hasil penyimpangan Yahudi dan Kristen terhadap kitabnya. Maka kita tidak membenarkannya sama sekali kecuali apa yang telah dibenarkan oleh Al-Qur`anul Karim atau oleh As-Sunnah yang mulia. Dan kita dustakan apa yang telah didustakan oleh Al-Qur`anul Karim atau As-Sunnah yang mulia. Adapun yang tidak ada keterangan Al-Qur`an maupun As-Sunnah tentangnya maka kita tidak membenarkan tidak pula mendustakannya.
Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’aalaa
Sumber : http://www.buletin-alilmu.com/2012/12/26/beriman-kepada-kitab-kitab-allah/

Beriman Kepada Para Nabi dan Rasul

Beriman kepada Para Nabi dan Rasul

Beriman kepada para nabi dan rasul ‘alaihimus salaam adalah salah satu rukun iman. Mereka adalah penghubung antara Allah subhanahu wa ta’ala dan hamba-Nya dalam kehidupan beragama. Melalui merekalah kebenaran, petunjuk, dan agama yang benar sampai kepada seluruh hamba.
Makna beriman kepada para nabi dan rasul ‘alaihimus salaam adalah:
1. Mengimani dengan keyakinan yang pasti bahwa Allah subhanahu wa ta’ala benar-benar telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang bertugas mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada Allahsubhanahu wa ta’ala satu-satunya tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kaumnya untuk mengingkari segala sesuatu yang diibadahi selain Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Meyakini bahwa para rasul semuanya adalah jujur, mulia, dan terbimbing dengan hidayah dari-Nya.
3. Meyakini bahwa para rasul telah menyampaikan semua wahyu yang mereka terima dari Allah subhanahu wa ta’ala, tidak menyembunyikannya sedikitpun, dan tidak pula berdusta. Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:
“Maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (An-Nahl: 35-36).

Diutusnya Nabi dan Rasul adalah Nikmat bagi Umat Manusia
Manusia sangat butuh terhadap para rasul, keberadaan mereka adalah nikmat bagi umat manusia. Urusan mereka tidak akan teratur tanpa bimbingan dari para rasul. Demikian pula agama mereka, tidak akan benar tanpa bimbingan para rasul. Kebutuhan manusia terhadap para rasul lebih besar daripada kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Karena Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan para rasul itu sebagai penghubung antara Dia dengan hamba-Nya. Merekalah yang mengenalkan umat manusia tentang Allah subhanahu wa ta’ala, menunjukkan hal-hal yang bermanfaat dan yang merugikan bagi mereka, menerangkan rincian syari’at, halal-haram, perbuatan-perbuatan yang dicintai dan dibenci oleh Allahsubhanahu wa ta’ala. Tidak ada jalan untuk mengetahui hal itu kecuali melalui para nabi dan rasul. Akal manusia tidak bisa mengetahui rincian hal-hal tersebut, walaupun mungkin bisa mengetahui sebagian kecilnya, itu pun secara global.
Maka dari itu, kebutuhan umat manusia terhadap risalah jauh lebih besar dibandingkan kebutuhan orang sakit terhadap kehadiran dokter. Apabila dokter tidak ada, maksimal si sakit akan tertimpa mudarat pada badannya. Namun apabila risalah tidak ada maka manusia akan tertimpa mudarat pada hatinya, demikian pula penduduk bumi tidak akan bisa eksis keberadaannya kecuali apabila risalah yang dibawa oleh para rasul masih diterapkan. Apabila risalah rasul sudah tidak ada sama sekali di muka bumi, maka akan Allahsubhanahu wa ta’ala timpakan kiamat terhadap alam semesta.
Perbedaan Nabi dan Rasul
Para ulama berbeda-beda dalam menyimpulkan perbedaan antara nabi dan rasul, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Nabi adalah seorang pria merdeka yang menerima wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala akan tetapi tidak diperintahkan untuk menyampaikannya kepada yang lain. Adapun rasul adalah seorang pria merdeka yang menerima wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala dan diperintahkan untuk menyampaikannya kepada umatnya.
2. Nabi adalah seorang pria merdeka yang diperintahkan oleh Allah untuk menyeru (berdakwah) kepada syari’at rasul sebelumnya, dia tidak menerima wahyu baru. Adapun rasul adalah seorang pria  merdeka yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan syari’at yang baru.
3. Nabi adalah seorang pria merdeka yang menerima wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa syari’at dan berkewajiban menyampaikannya kepada umat yang beriman. Sedangkan rasul adalah seorang pria merdeka yang menerima wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala berupa syari’at dan berkewajiban menyampaikannya kepada umat, dan diutus kepada umat yang menentang.
Setiap rasul pasti nabi, namun nabi belum tentu rasul. Sebagaimana definisi di atas, nabi adalah dari kalangan pria, tidak ada yang berasal dari kalangan wanita yang menjadi nabi. Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah memberitakan bahwa Dia mengutus para rasul-Nya dari kalangan pria, tidak dari kalangan wanita. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. … sebagian kalangan beranggapan bahwa Sarah (istri Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam), ibunda Nabi Musa, Maryam Ibunda Nabi ‘Isa adalah para nabi dari kalangan wanita, dengan dalil bahwa malaikat memberikan berita gembira kepada Sarah dengan kelahiran Ishaq, dan malaikat datang kepada Maryam memberikan berita gembira dengan kelahiran ‘Isa. Memang hal itu terjadi pada mereka, namun hal itu tidak berarti mereka menjadi nabi dengan itu. … maka pendapat yang diyakini oleh para imam dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan itu pendapat yang dinukil oleh al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah dari para imam tersebut, bahwa tidak ada nabi dari kalangan wanita. Yang ada dari kaum wanita hanyalah shiddiqah…” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir surah Yusuf ayat 109).
Predikat sebagai nabi atau rasul merupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada orang-orang yang dipilih oleh-Nya. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Allah memilih rasul-rasul-(Nya) dari malaikat dan dari manusia; sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Hajj: 75)
Kenabian bukanlah kedudukan yang bisa diraih dengan keseriusan amal, kesungguhan ibadah, ataupun pelatihan jiwa, sebagaimana diyakini oleh sebagian orang. Menurut mereka, seseorang bisa meraih predikat kenabian karena memiliki kekuatan olah pikir, kemampuan mengkhayal, dan memiliki retorika yang jitu untuk mempengaruhi orang lain. Maka jangan heran bila sebagian orang mengklaim dirinya telah mencapai martabat nabi. Subhanallah! Tentu saja anggapan tersebut merupakan aqidah yang batil, terbantah dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, terbantah pula dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An’am: 124)
Jumlah Para Nabi dan Rasul
Jumlah para nabi dan rasul sangat banyak. Di antara mereka ada yang disebutkan nama-namanya dalam Al-Qur`an atau dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah subhanahu wa ta’alaberfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (Ghafir: 78) ayat semakna juga di surah An-Nisa`: 164.
Maka kita wajib mengimani mereka secara global, yakni kita mengimani bahwa ada sekian banyak nabi dan rasul yang diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala, namun kita tidak mengetahui namanya dan tidak mengetahui kisahnya.
Para rasul yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Qur`an ada 25 orang. Ada 18 nama dari mereka yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan secara berangkai pada satu tempat, yaitu di surah Al-An’am ayat 83-86. Adapun 7 nama lainnya Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan di tempat terpisah-pisah dalam Al-Qur`an.
Maka wajib beriman kepada mereka semua secara rinci dengan masing-masing namanya, mengimani kenabian dan kerasulan mereka, serta semua berita, kisah, keutamaan, mukjizat dan berbagai peristiwa lainnya sebagaimana diberitakan dalam Al-Qur`an dan hadits-hadits yang shahih, tidak menambah dan tidak pula menguranginya. Seperti kisah perjalanan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam, lengkap dengan perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada beliau ‘alaihis salaam untuk membuat perahu. Demikian pula kisah Nabi Musa ‘alaihis salaam, lengkap dengan peristiwa Allah subhanahu wa ta’ala berbicara kepada Musa ‘alaihis salaam, kemenangan Musa ‘alaihis salaam menghadapi para tukang sihir dengan izin Allahsubhanahu wa ta’ala, dll. Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala berikan kemampuan kepada Nabi Sulaimain ‘alaihis salaam untuk menundukkan bangsa jin, memahami bahasa hewan dan lain-lain. Demikian pula para nabi dan rasul lainnya, kita mengimaninya sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur`an dan hadits-hadits yang shahih.
Maka kita tidak boleh mempercayai cerita-cerita palsu yang dibuat tentang kapal Nabi Nuh ‘alaihis salaam,atau bahwa tongkat Nabi Musa ‘alaihis salaam masih tersimpan di tempat ini dan itu misalnya, barang siapa mendapatkannya maka dia akan menjadi orang sakti. Atau mempercayai kuburan tertentu sebagai kuburan Nabi Hud ‘alaihis salaam, sehingga dia mengagungkan dan mengeramatkannya, dan meyakini bahwa ziarah ke kubur Nabi Hud ‘alaihis salaam sama nilainya atau bahkan melebihi ibadah haji! La haula wa la quwwata illa billah! Maka itu semua sama sekali bukan bagian dari keimanan kepada para Nabi dan Rasul ‘alaihimus salaam.

Beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul terbesar dan paling mulia. Demikian pula agama yang dibawa oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah agama terbesar dan termulia. Diutusnya beliau merupakan rahmat bagi semesta alam, dan nikmat terbesar bagi kaum mukminin. Allahsubhanahu wa ta’ala menjadikan beliau dan agama beliau menang di atas semua agama. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa Al-Huda dan agama yang benar agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” (Al-Fath: 28)
Hakikat beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah: membenarkan, menaati, dan mengikuti syari’at beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka siapapun yang mengaku beriman dan mengikuti agama seorang nabi sebelumnya, namun tidak mau beriman dan mengikuti agama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia telah kafir.
Demikian pula termasuk iman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah meyakini bahwa beliau adalah penutup para nabi dan rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kerasulan dan kenabian telah terputus. Maka tidak ada rasul setelahku dan tidak ada pula nabi setelahku.” (HR. at-Tirmidzi no. 2272, Ahmad 3/267)
Maka siapapun yang meyakini bahwa masih ada nabi atau rasul setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia telah kafir, meskipun dia mengimani kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam bish shawab.

Sumber : http://www.buletin-alilmu.com/2013/01/17/beriman-kepada-para-nabi-dan-rasul/

Rabu, 06 Maret 2013

Pengajian MP3 Terbaru


Daftar ceramah agama Islam MP3 terbaru yang dapat di download secara gratis. Klik link berikut ini untuk menampilkan konten lengkap kajian (per judul kajian).





Manfaatkanlah kajian ini dengan baik, karena Rasulullah shalallahu'alaihi was sallam bersabda,"Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya ada pahala yang sama dengan pahala orang yang mengikutinya dan tidak dikurangi sedikitpun juga dari pahala-pahala mereka."(HR Muslim no. 2674)